BANNER HEADER

Melepas Penat di Wisata Situs Kuno Mataram Tomboan Ngawonggo Malang


MALANG
- Perpaduan wisata budaya dan alam dapat dinikmati di Tomboan Ngawonggo Malang. Wisata ini menggabungkan situs kuno peninggalan Hindu Kerajaan Mataram Kuno periode Medang (929-947 M) dengan keasrian alam pepohonan bambu, serta menonjolkan kearifan lokal melalui jamuan khas warga pedesaan.

Berlokasi di Dusun Nanasan, RT 3 RW 4 Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang, Tomboan Ngawonggo hanya berjarak 30 menit dari Kota Malang. Akses jalan yang mudah membuat tempat ini menjadi pilihan tepat untuk rekreasi keluarga atau bersama rekan-rekan.

Pada hari libur panjang Waisak, Rabu (25/5/2024), wisata Tomboan Ngawonggo dipadati pengunjung. Mereka datang untuk menikmati perpaduan sejarah dan keindahan alam yang ditawarkan.

Di awal pembukaannya, wisata ini sempat viral dan pengunjung dibatasi karena pandemi Covid-19, sehingga pendaftaran dilakukan maksimal H-1 sebelum kunjungan. Kini, dengan situasi yang lebih tenang, pengelola tidak lagi menerapkan sistem registrasi tersebut, sehingga pengunjung bisa menikmati suasana khas pedesaan dengan nyaman di tengah rerimbunan pohon.

Tomboan Ngawonggo memadukan situs budaya berupa petirtaan dan yoni peninggalan Mpu Sindok dari masa Kerajaan Mataram Kuno dengan suasana pedesaan yang asri di bawah pepohonan bambu. Suasana yang sejuk dan kuliner khas pedesaan dijamin mampu menyegarkan pikiran dan tenaga dari rutinitas sehari-hari.

Pengelola Rahmat Yasin menjelaskan bahwa situs kuno Ngawonggo berupa petirtaan dan yoni telah lama ada, tetapi baru disadari sebagai peninggalan bersejarah pada 24 April 2017 setelah ia dan teman-temannya memotret dan mengunggahnya di media sosial. Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur kemudian melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa situs tersebut merupakan peninggalan Mpu Sindok. Petirtaan itu kemudian dikelola warga dan dibersihkan untuk dijadikan tempat wisata.

"Awalnya ada situs, Situs Ngawonggo. Situs ini berupa petirtaan yang diketahui sudah turun-temurun oleh warga sini, tapi mereka tidak tahu dulu itu tempat apa. BPCB datang, meneliti, dan ternyata tempat ini adalah situs suci umat Hindu-Buddha. Kami kemudian membangun prasarana ini untuk menjamu para tamu yang datang ke petirtaan," ungkap Rahmat Yasin.

Nama Tomboan diambil dari bahasa Jawa yang berarti tumbuhan, mengingat bahan-bahan sajian makanan yang digunakan berasal dari tumbuhan dan alam sekitar Desa Ngawonggo. "Tomboan ini karena olahannya semua dari tumbuhan, jadi pakai tomboan dan situsnya Situs Ngawonggo," jelasnya.

Sajian makanan berbahan tumbuhan ini mengajarkan kesederhanaan dan memanfaatkan alam sekitar. Beragam sajian seperti nasi jagung, urap-urap, mendol, sayur lodeh, serawut, hingga cenil disuguhkan tanpa menggunakan bahan hewani. Menariknya, makanan ini tidak dijual, pengunjung boleh memberikan kontribusi seikhlasnya.

Rahmat Yasin menambahkan bahwa dana partisipasi dari pengunjung digunakan untuk memberdayakan dan mengelola situs. "Awalnya kami gotong royong swadaya masyarakat yang peduli tentang situs Ngawonggo. Sekarang ada masukan dari partisipasi, kami manfaatkan sebaik mungkin untuk pembangunan tempat ini dan kesejahteraan yang melayani," terangnya.

Kini, wisata Tomboan Ngawonggo diminati pengunjung yang ingin merasakan sensasi wisata kuliner tradisional sambil menikmati suasana pedesaan dan melihat situs budaya peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. Wisata ini beroperasi setiap hari dari pukul 07.00 - 17.00 WIB, kecuali hari Kamis ketika warga tidak membuat suguhan makanan, meski situsnya tetap buka.

Salah satu wisatawan, Endah Kurniawati, mengungkapkan kepuasannya. "Di sini bisa belajar mengenai sejarah dan budaya peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. Suasananya juga bagus dan sejuk. Saya tahu tempat ini dari Instagram dan ternyata memang sangat bagus," katanya. by sindonewscom

Post a Comment

Previous Post Next Post